Wednesday, March 25, 2020

Hemodialisis

Terapi Pengganti Ginjal (TPG) adalah usaha untuk mengambil alih fungsi ginjal yang telah menurun dengan menggunakan ginjal buatan (dialiser) dengan teknik dialisis atau hemofiltrasi, yaitu fungsi pengaturan cairan dan elektrolit, serta ekskresi sisa-sisa metabolisme protein (Balemo & Ronco (1999) dalam Cahyaningsih dkk., 2015). TPG merupakan teknik pembersihan darah untuk mengilangkan kelebihan cairan dan racun (Fayad et al., 2018). Terapi pengganti ginjal dibutuhkan ketika ditemukan adanya perubahan patologik pada CKD stage 4 dan stage 5, dan terapi pengganti ginjal yang umum dilakukan pada pasien gagal ginjal tahap akhir/End Stage Renal Disease (ESRD) dan gagal ginjal adalah Hemodialisis (HD) (Ignatavicius & Workman, 2013). HD dilakukan untuk mencegah komplikasi Chronic Kidney Disease (CKD) seperti hiperkalemia, metabolik asidosis, perikarditis, dan edema paru (Smeltzer et al., 2010). 


Orang yang menjalani dialisis secara global meningkat drastis, hal ini disebabkan oleh peningkatan kelangsungan hidup populasi umum, penurunan angka kematian (mortalitas) pasien dialisis, peningkatan kejadian CKD, terapi pengganti ginjal yang meluas, dan akses yang mudah untuk pembiayaan dialisis di negara berpenghasilan rendah dan menengah (Chan et al., 2019). Indonesian Renal Registry (IRR) melaporkan bahwa tindakan HD di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun  dan pada tahun 2018 (IRR, 2018). 




   Grafik 1. Jumlah Tindakan HD di Indonesia Tahun 2018

Sumber: IRR (2018)
Pasien yang menjalani terapi HD berkunjung ke rumah sakit ataupun ke pusat dialisis secara rutin, biasanya tiga kali seminggu dimana hal ini menggambarkan perubahan kehidupan normal pasien (Gerasimoula et al., 2015). HD tidak untuk menyembuhkan, tetapi untuk mempertahankan kehidupan, di mana lebih dari 90% pasien yang membutuhkan terapi penggantian ginjal jangka panjang menggunakan HD kronis (Smeltzer et al., 2010). 


Definisi Hemodialisis



Hemodialis berasal dari kata hemo yang berarti darah dan dialisis berarti pemisahan atau filtrasi melalui membran semipermeable. Dengan demikian Hemodialisis (HD) merupakan proses pemisahan atau filtrasi zat-zat tertentu dalam darah melalui sebuah membran semipermeable yang terjadi di dalam tabung dialiser (hollowfiber/artificial kidney) (Cahyaningsih dkk., 2015). National Institute of Diabetes and Digestive and Digestive and Kidney Disease (NIDKK, 2018) mendefinisikan HD sebagai proses untuk menyaring limbah dan air dari darah, seperti yang dilakukan ginjal saat masih sehat dan juga membantu mengontrol tekanan darah dan menyeimbangkan mineral penting, seperti kalium, natrium, dan kalsium, di dalam darah.



Indikasi Hemodialisis



HD digunakan untuk pasien yang sakit akut dan memerlukan dialisis jangka pendek (berhari-hari hingga berminggu-minggu) dan untuk pasien dengan CKD dan ESRD tingkat lanjut yang membutuhkan jangka panjang atau terapi penggantian ginjal permanen (Smeltzer et al., 2010). LeMone et al. (2013) mengatakan bahwa hemodialisis tidak dilakukan pada pasien dengan hemodinamik tidak stabil seperti hipotensi atau penurunan curah jantung (cardiac output). 



HD dilakukan pada pasien yang memenuhi kriteria (Cahyaningsih dkk., 2015), sebagai berikut:

a) Indikasi Segera
HD dilakukan jika pasien mengalami perikarditis atau efusi pericard, koma uremikum, neuropati uremik progresif, esefalopati, gangguan diastesis akibat uremia, hiperkalemia, overload cairan refrakter terhadap diuretik, edema paru, oliguria/anuria, kreatinin plasma >12mg% atau Blood Urea Nitrogen (BUN) >100mg%, Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) <10ml/menit dengan gejala uremia atau LFG < 5ml/menit, LFG > 10 ml/menit dengan komplikasi akut akibat uremia
b) Indikasi Dini

HD dilakukan ketika muncul gejala uremia (uremicum syndrome) dan laboratorium yang abnormal. Gejala uremia yang dapat dirasakan ialah mual, muntah, gatal (pruritus), anoreksia, sindrom kelelahan kaki, penurunan kognitif, perubahan status mental, penyakit tulang, gangguan pertumbuhan dan perkembangan tubuh dan seksual, perubahan kualitas hidup, sedangkan temuan laboratorium abnormal yaitu asidosis berat, azotemia, Blood Urea Nitrogen (BUN) yang tinggi, hiperkalemia, anemia, gangguan keseimbangan elektrolit.

Prinsip Hemodialisis


HD menggunakan prinsip difusi dan ultrafiltrasi yang memindahkan elektrolit, produk sampah, dan kelebihan air dalam tubuh (LeMone et al., 2013). Cahyaningsih dkk. (2015) menyebutkan bahwa proses HD berdasarkan proses alamiah dibagi menjadi dua yaitu:


a) Difusi


Difusi adalah perpindahan substansi dari daerah yang memiliki konsentrasi tinggi ke daerah berkonsentrasi rendah. Terdapat perbedaan konsentrasi antara darah dan cairan dialisat sehingga terjadi proses difusi, di mana proses ini dipengaruhi oleh luas permukaan membran dialiser, kecepatan aliran darah dan dialisat, lamanya hemodialisis, perbedaan konsentrasi dan permeabilitas membran dialiser.


b) Ultrafiltrasi


Ultrafiltrasi adalah proses perpindah zat dan pelarutnya (pada hemodialisis : air) karena adanya perbedaan tekanan hidrostatik (pada hemodialisis : tekanan negatif). Tekanan negatif diberikan di dalam kompartemen dialisat, sehingga air yang ada di dalam darah dapat terserap keluar melalui membran semipermeabel yang selanjutnya dibuang bersama dengan cairan dialisat yang telah terpakai.

Proses Hemodialis


Saat HD dilakukan pada pasien CKD, sebuah mesin memompa darah dengan kecepatan tertentu dari dalam tubuh dialirkan ke dalam suatu tabung ginjal buatan yang disebut dialiser, dan pada saat yang bersamaan cairan dialisat dialirkan pula ke dalam tabung dialiser dengan kecepatan tertentu. Dialiser terbagi dalam dua kompartemen yang terpisah dan dibatasi oleh membran semipermeabel antara darah dan cairan dialisat. Kompartemen dialisat dialiri cairan dialisat yang bebas pirogen, berisi larutan dengan komposisi elektrolit mirip serum normal dan tidak mengandung sisa metabolisme nitrogen. Ketika darah melewati dialiser terjadi proses filtrasi/pemisahan zat-zat tertentu ke dalam cairan dialisat berpindah pula ke dalam darah. Darah yang telah mengalami proses dialisis meninggalkan tabung dialiser kembali ke dalam tubuh. Proses perpindahan zat terlarut dalam darah dan cairan dialisat menganut hukum alam difusi dan osmosis. Untuk mengurangi kelebihan cairan tekanan negatif diberikan ke dalam tabung dialiser sehingga terjadi proses ultrafiltrasi/penarikan cairan.

Komplikasi Hemodialisis


Lemone et al. (2013) menyebutkan beberapa komplikasi yang berhubungan dengan hemodialisis:


a) Hipotensi 


Hipotensi merupakan komplikasi paling sering. Hipotensi intra-HD terjadi pada sekitar 50-60% pasien sakit kritis (intensive) dan 25-50% pada pasien CKD (Berger & Takala, 2016). berhubungan pada perubahan osmolaritas serum, kehilangan cairan  yang cepat dari kompartemen vaskular, vasodilatasi dan faktor lain. Penurunan tekanan darah selama HD dapat memicu sakit kepala ringan, mual, muntah, kejang, perubahan penglihatan, dan nyeri dada akibat iskemia jantung. Penanganan hipotensi yaitu dengan mengurangi volume cairan yang keluar dan memberikan infus larutan saline 0,9% (Lewis et al., 2014).


b) Kram Otot


Penyebab kram otot saat HD kurang dipahami. Faktor-faktor yang terkait dengan perkembangan kram otot termasuk hipotensi, hipovolemia, tingkat ultrafiltrasi yang tinggi (penambahan berat interdialitik yang besar), dan larutan dialisis natrium yang rendah. Kram lebih sering terlihat pada bulan pertama setelah inisiasi dialisis daripada pada periode berikutnya. Penanganan kram saat HD dapat dilakukan dengan mengurangi target ultrafiltrasi dan pemberian cairan (saline, glukosa, manitol). Saline hipertonik tidak dianjurkan, karena beban natrium bisa menjadi masalah. Pemberian glukosa hipertonik lebih dianjurkan.


c) Perdarahan/Kehilangan darah 


Kehilangan darah dapat terjadi karena darah tidak sepenuhnya dari dialyzer, pecahnya membran dialisis, atau perdarahan pada akses post HD. Hal ini juga terjadi karena dosis heparin terlalu banyak atau adanya masalah pembekuan darah, yang dapat menyebabkan perdarahan post HD bisa menjadi signifikan. Masalah pembekuan darah berhubungan dengan perubahan fungsi platelet/trombosit karena adanya uremia dan penggunaan heparin saat HD (Lemone et al., 2013). Oleh karena itu, penting untuk memantau hepariniisasi dengan ketat untuk menghindari antikoagulasi berlebih.


d) Infeksi 


Infeksi (lokal atau sistemik) berhubungan dengan kerusakan sel darah putih dan supresi sistem imun. Staphylococcus aureus septikemia umumnya berhubungan dengan kontaminasi pada area akses vaskular. Pasien dengan hemodalisis yang panjang (kronik) memiliki tingkat lebih tinggi terkena hepatitis B (HBV), hepatitis C (HCV), sitomegalovirus, dan infeksi Human Immunodeficiency Viruses (HIV) pada populasi umum. HCV memiliki prevalensi yang tinggi pada pasien dialisis, tetapi kejadiannya saat ini rendah. Hal ini disebabkan pengurangan transfusi, skrining sebelum dialisis, dan rekomendasi untuk vaksinasi telah menurunkan insiden. Akan tetapi, HBV masih terjadi, hal ini dikaitkan dengan kurangnya praktik pengendalian infeksi. Untuk mencegah penularan, CDC telah merekomendasikan bahwa semua pasien dan tim dalam unit dialisis menerima vaksin hepatitis B. HCV bertanggung jawab untuk Sebagian besar kasus hepatitis pada pasien dialisis. Sekitar 8% hingga 10% pasien yang menjalani dialisis di Amerika Serikat positif untuk anti-HCV, yang mengindikasikan infeksi sebelumnya. Tindakan pencegahan dan pengendalian infeksi ditugaskan untuk perawatan pasien dengan HCV untuk melindungi pasien dan staf (Lewis et al., 2014).

Cahyaningsih (2015) mengatakan bahwa komplikasi terapi HD dibagi menjadi komplikasi akut dan komplikasi kronis yang dapat terjadi selama atau setelah tindakan HD dilakukan dimana pasien mengalami gejala klinis sebagai berikut:


a) Komplikasi akut seperti hipoteni, kram otot, aritmia, nyeri dada, disequilibrium syndromehard water syndromefirst use syndrome, pruritus dan kejang.


b) Komplikasi kronis (jangka panjang) seperti hipertensi, neuropati perifer/kerusakan saraf perifer, penyakit vaskuler, overhidrasi, hematom pada akses vaskuler, anemia, perikarditis, efusi perikard, infeksi virus, amiloidosis, osteoporosis, malnutrisi, asites, dan hiperkalemia.

Frekuensi Hemodialisis


Efisiensi HD tergantung pada frekuensi untuk mencapai efisiensi maksimum dengan perawatan yang berkelanjutan (Megee et al., 2016). Sebagian besar pasien CKD menjalani HD tiga kali seminggu dengan durasi rata-rata tiga sampai empat jam pada pasien rawat jalan (Smeltzer et al., 2010; Lewis et al., 2014). Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (KDOQI, 2015) menyebutkan bahwa HD konvensional tetap menjadi terapi yang paling umum untuk ESRD di seluruh dunia, dan biasanya dilakukan selama 3-5 jam, 3 hari per minggu.

Tindakan HD pada pasien CKD menurut Tjokroprawiro dkk. (2015) dibagi menjadi, (1) HD konvensional (HD jangka panjang) biasanya dilakukan 2-3 kali per minggu, selama sekitar 4-5 jam untuk setiap tindakan; (2) HD harian merupakan HD untuk pasien yang melakukan cuci darah sendiri di rumah, dilakukan selama dua jam setiap hari; (3) HD nocturnal, yaitu tindakan cuci darah pada malam hari saat pasien tidur malam yang dilakukan 3-6 kali dalam seminggu dan 6-10 jam per tindakan.

Referensi


Berger, D., & Takala, J. (2016). Hypotension and hypovolemia during hemodialysis: is the usual suspect innocent?. Diakses pada 15 Maret 2020, dari https://ccforum.biomedcentral.com/track/pdf/10.1186/s13054-016-1307-4.



Cahyaningsih, N. D., Jaelani, T. R., Rudianto, & Tanjung, R. R. (2015). Standar Asuhan Keperawatan (SAK) pasien dengan Hemodialis (HD) dan Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD). Bandung: Ikatan Perawat Dialisis Indonesia.



Chan, C. T., Blankestijn, P. J., Dember, L. M., Gallieni, M., Harris, D. C.H., … & Pollock, C. A. (2019). Dialysis initiation, modality choice, access, and prescription: conclusions from a Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) Controversies Conference. KDIGO Conference Report, 1-11. Diakses pada 09 Maret 2020, dari https://kdigo.org/wp-content/uploads/2017/02/KDIGO-Dialysis-Initiation-conf-report-in-press.pdf.



Fayad, A. I. I., Buamscha, D. G., Ciapponi, A. (2018). Timing of renal replacement therapy initiation for acute kidney injury. Diakses pada 09 Maret 2020, dari https://www.cochranelibrary.com/cdsr/doi/10.1002/14651858.CD010612.pub2/epdf/abstract.



Gerasimoula, K., Lefkothea, L., Maria, L., Viktoria, A., Paraskevi, T., & Maria, P. (2015). Quality of Life in Hemodialyisis Patient. Mater Sociomed, 27(5), 305-309. Diakses pada 10 Maret 2020, dari https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4639348/pdf/MSM-27-305.pdf.



Ignatavicius, D. D., & Workman, M. L. (2013). Medical-Surgical Nursing: Patient-Centered Collaborative Care (7th Ed.). St. Louis, Missouri: Elsevier.



Kidney Disease Outcomes Quality Initiative. (2015). KDOQI Clinical Practice Guideline Hemodialysis Update. Diakses pada 15 Maret 2020, dari https://www.kidney.org/sites/default/files/KDOQI-Clinical-Practice-Guideline-Hemodialysis-Update_Public-Review-Draft-FINAL_20150204.pdf.



LeMone, P., Burke, K. M., & Bauldoff, G. (2013). Medical Surgical Nursing: Critical thinking in patient care. United Kingdom: Pearson Education.



Lewis, S. L., Dirksen, S. R., Heitkemper, M. M., & Bucher, L. (2014). Medical-Surgical Nursing: Assessment and Management of Clinical Problems. Canada: Elsevier.



Megee, C. C., Tucker, J. K., & Singh, A. K. (2016). Core Concepts in Dialysis and Continuous Therapies. New York: Springer. Diakses pada 15 Maret 2020, dari https://books.google.co.id/books?id=ygBkDAAAQBAJ&printsec=frontcover&dq=frequency+and+hemodialysis.pdf&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwjzm6u29J3oAhWGTX0KHeTuDL84ChDoAQgoMAA#v=snippet&q=frequency&f=false.



National Institute of Diabetes and Digestive and Digestive and Kidney Disease. (2018). Hemodialysis. Diakses pada 15 Maret 2020, dari https://www.niddk.nih.gov/health-information/kidney-disease/kidney-failure/hemodialysis.



Smeltzer, S. C., Bare, B. G., Hinkle, J. L., & Cheever, K. H. (2010). Brunner & Suddarth’s: Textbook of medical-surgical nursing. Philadelphia: Wolters Kluwer/Lippincott Williams & Wilkins.



Tjokroprawiro, A., Setiawan, P. B., Santoso, D., Soegiarto, G., & Rahmawati, L. D. (2015). Buku ajar ilmu penyakit dalam: Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Rumah Sakit Pendidikan Dr. Soetomo Surabaya (Ed. 2). Surabaya: Airlangga University Press (AUP).


Saturday, December 22, 2018

Gagal Ginjal Kronik (Chronic Kidney Disease)

Gagal ginjal kronik/Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif dan lambat, biasanya berlangsung beberapa tahun. Penyakit ginjal biasanya tidak dirasakan (asimptomatik) sampai terjadinya kerusakan nefron yang cukup parah, dan 70% orang dengan CKD tidak menyadari penyakit tersebut sebelumnya (Lewis, Hagler, Bucher, Heitkemper, Harding, Kwong, & Roberts, 2016). 

Sistematik review dan meta-analisis yang dilakukan oleh Hill, Fatoba, Oke, Hirst, Callaghan, Lasserson, & Hobbs (2016) ditemukan bahwa CKD memiliki prevalensi global yang tinggi dengan estimasi prevalensi yang konsisten antara 11-13% dengan mayoritas stage 3. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2018) disebutkan bahwa kejadian CKD di Indonesia naik dari 2% (Riskesdas 2013) menjadi 3,8% pada tahun 2018 (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia [Kemenkes RI], 2018). 

Definisi
Chronic Kidney Disease (CKD) adalah kerusakan pada ginjal atau penurunan fungsi ginjal lebih dari tiga bulan, dimana pada kondisi ini ginjal tidak dapat menyaring sisa metabolisme dalam darah sehingga tetap berada dalam darah, jika tidak dideteksi dan diobati sejak dini akan menyebabkan kerusakan yang serius pada ginjal bahkan menyebabkan kematian dini (Centers for Disease Control and Prevention [CDC], 2014). CKD adalah istilah umum yang menggambarkan kerusakan ginjal atau penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) selama tiga bulan atau lebih (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010). Baradero, Dayrit, & Siswadi (2009) mendefinisikan CKD sebagai kerusakan ireversibel pada ginjal, dimana kedua ginjal sudah tidak mampu mempertahankan lingkungan yang cocok untuk keberlangsungan kehidupan.

Klasifikasi
Smeltzer, et al. (2010) mengklasifikasikan gagal ginjal berdasarkan Glomerular Filtration Rate (GFR), seperti pada tabel 1 berikut ini:
            Tabel 1: Stadium CKD
Stage
Deskripsi
GFR (mL/min/1.73 m2), Tindakan
Rencana
1
Kerusakan ginjal dengan GRF normal atau meningkat
≥90
Diagnosis, perawatan berdasarkan kondisi dan komorbiditas, menurunkan resiko penyakit jantung/kardiovaskular
2
Kerusakan ginjal dengan GFR menurun ringan
60-89
Perkiraan kondisi selanjutnya
3
Kerusakan ginjal dengan GFR menurun secara moderate
30-59
Evaluasi dan mengatasi komplikasi
4
GFR menurun parah
15-29
Persiapan dari terapi renal replacement
5
Gagal ginjal (ESRD)
<15 (dialisis/cuci darah, transplantasi)
Terapi replacement therapy (dialisa atau transplantasi)

Etiologi
Etiologi CKD menurut Ignatavicius, Workman, & Winkelman (2016) adalah sebagai berikut:

a) Faktor yang tidak dapat dimodifikasi
    - Hereditas
    - Usia lebih dari 60 tahun
    - Jenis kelamin
    - Ras
b) Faktor yang dapat dimodifikasi
    - Diabetes mellitus
    - Hipertensi
    - Peningkatan protein dan masukan kolesterol
    - Merokok
    - Penggunaan analgesik.

Manifestasi Klinis
     Manifestasi klinis CKD menurut Lewis, Dirksen, Heitkemper, & Bucher (2014) ialah sebagai berikut:
a) Psikologi
Cemas dan depresi.
b) Kardiovaskular
Hipertensi, gagal jantung, coronary artery disease (CAD), perikarditis dan penyakit arteri perifer.
c) Gastrointestinal
Anoreksia, mual, muntah, perdarahan gastrointestinal, dan gastritis.
d) Endokrin/Reproduksi
Hiperparatiroid, tiroid abnormalitas, amenorea, dan disfungsi ereksi. 
e) Metabolik
Intoleransi karbohidrat dan hiperlipidemia.
f) Hematologi
Anemia, perdarahan, dan infeksi.
g) Neurologi
Lemah, sakit kepala, gangguan tidur, dan ensefalopati.
h) Okuler
Hipertensi retinopati
i) Pulmonary
Edema paru, pruritus uremik, dan pneumonia.
j) Integumen
Pruritus, ekimosis, kering, dan kulit bersisik.
k) Muskuloskletal
Kalsifikasi vaskular dan jaringan lunak, Osteomalasia, Osteitis fibrosa
l) Neuropati perifer
Parestesia, Sindrom kaki gelisah.

     Tanda dan gejala pada CKD timbul akibat cairan dan elektrolit yang tidak seimbang, perubahan fungsi regulator tubuh, dan retensi solut (Baradero, dkk.,2009), seperti berikut ini:
a) Anemia terjadi karena produksi eritrosit juga terganggu, sehingga pasien mengeluh cepat lelah, pusing dan letargi.
b) Hiperurisemia
c) Fosfat serum meningkat
d) Kalsium mungkin normal (karena ada peningkatan produksi parathormon) atau dibawah normal.
e) Tekanan darah meningkat karena adanya hipervolemia (peningkatan jumlah Na+ dan air).
f) Hiperpigmentasi
g) Kulit tampak kekuningan atau kecoklatan.
h) Azotemia yang dapat menyebabkan letargi, sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat badan menurun, cepat marah, dan depresi.
i) Gejala CKD yang berat: anoreksia, mual, dan muntah yang berlangsung terus, pernapasan pendek, pitting oedema, dan pruritus.

Pemeriksaan Diagnostik
     Pemeriksaan penunjang pada CKD menurut Ignatavicius & Workman (2014); Lewis, Dirksen, Heitkemper, & Bucher (2014) ialah sebagai berikut:
a) Riwayat dan pemeriksaan fisik
b) Identifikasi penyakit ginjal reversibel
c) USG ginjal
d) Scan ginjal
e) CT scan
f) Biopsi ginjal
g) Pantau nilai darah berikut: kreatinin, nitrogen urea darah (BUN), sodium, potasium, kalsium, fosfat, bikarbonat, hemoglobin, dan hematokrit. Juga pantau GFR.
h) Elektrolit serum
i) Profil lipid
j) Rasio protein terhadap kreatinin pada spesimen voided pagi pertama
k) Urinalisis
l) Hematokrit dan kadar hemoglobin

Penatalaksanaan Medis
    Penatalaksanaan medis pada CKD menurut Black & Hawks (2014) ialah:
a) Mengontrol tekanan darah (BP) menjadi di bawah 130/80 mmHg.
b) Mengatur kadar glukosa darah untuk menjaga HbA1c di bawah 1%.
c) Mengatur hiperlipidemia dengan diet dan obat yang menurunkan kolesterol (biasanya statin).
d) Mengatur dan mengobati manifestasi yang muncul dari gagal ginjal termasuk anemia, hiperfosfatemia, dan hiperparatiroidisme, hiperkalemia, dan asidosis metabolik.
e) Mempersiapkan pasien untuk terapi penempatan ginjal ketika diperlukan.

   Nurarif & Kusuma (2015) juga menyebutkan beberapa penatalaksanaan medis pada CKD yaitu:
a) Terapi penyakit ginjal
b) Pengobatan penyakit penyerta
c) Penghambatan penurunan fungsi ginjal
d) Pencegahan dan pengobatan penyakit kardiovaskular
e) Pencegahan dan pengobatan komplikasi akibat penurunan fungsi ginjal
f) Terapi pengganti ginjal dengan dialisis atau transplantasi jika timbul gejala dan tanda uremia.

Sumber lain:
a) Cairan yang diperbolehkan pada pasien dengan CKD adalah 500 sampai 600 ml untuk 24 jam atau dengan menjumlahkan urine yang keluar dalam 24 jam ditambah dengan IWL 500 ml, maka air yang masuk harus sesuai dengan penjumlahan tersebut.
b) Pemberian vitamin untuk pasien penting karena diet rendah protein tidak  cukup memberikan komplemen vitamin yang diperlukan.
c) Hiperfosfatemia dan hipokalemia ditangani dengan antasida mengandung alumunium atau kalsium karbonat, keduanya harus diberikan dengan makanan.
d) Hipertensi ditangani dengan berbagai medikasi antihipertensif dan kontrol volume intravaskuler.
e) Asidosis metabolik pada gagal ginjal kronik biasanya tanpa gejala dan tidak memerlukan penanganan, namun demikian suplemen makanan karbonat atau dialisis mungkin diperlukan untuk mengoreksi asidosis metabolik jika kondisi ini memerlukan gejala.
f) Hiperkalemia biasanya dicegah dengan penanganan dialisis yang adekuat disertai pengambilan kalium dan pemantauan yang cermat terhadap kandungan kalium pada seluruh medikasi oral maupun intravena. Pasien harus diet rendah kalium kadang-kadang kayexelate (obat untuk menangani hiperkalemia) sesuai kebutuhan.
g) Anemia pada gagal ginjal kronis ditangani dengan epogen (eritropoetin manusia rekombinan). Epogen diberikan secara intravena atau subkutan tiga kali seminggu.
i) Transplantasi ginjal

Komplikasi
Komplikasi CKD menurut Ignatavicius & Workman (2014); Lewis, Dirksen, Heitkemper, & Bucher (2014) ialah sebagai berikut:
a) Anemia
b) Penyakit vaskular dan hipertensi
c) Gangguan mineral dan tulang (hipokalsemia) 
d) Ulkus peptikum
e) Hiperkalemia
f) Disfungsi seksual
g) Dislipidemia
i) Metabolik asidosis.
Paru-paru uremik dan pneumonitis. paru-paru uremik dan pneumonitis . Keadaan edema paru terlihat pada thorak foto dimana disertai kelebihan cairan akibat retensi natrium dan air, batuk non produktif juga dapat terjadi sekunder dari kongesti paru-paru terutama saat berbaring, suara rales akibat adanya trasudasi cairan paru.

Referensi
Baradero, M., Dayrit, M. W., & Siswadi, Y. (2009). Seri Asuhan Keperawatan: Pasien Gangguan Ginjal. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Black, J. M., & Hawks, J. H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen Klinis untuk Hasil yang Diharapkan (8th edisi). Singapore: Elsevier.

Centers for Disease Control and Prevention. (2014). National Chronic Kidney Disease Fact Sheet, 2014. Diakses pada 01 Maret  2018, dari https://www.cdc.gov/diabetes/pubs/pdf/kidney_factsheet.pdf.

Hill, N. R., Fatoba, S. T., Oke, J. L., Hirst, J. A., O'Callaghan, C. A., Lasserson, D. S., & Hobbs, F. D. R. (2016). Global Prevalence of Chronic Kidney Disease - A Syatematic Review and Meta-AnalysisPloSONE, 11(7), DOI:10.1371/journal.pone.0158765.

Ignatavicius, D. D., & Workman, M. L. (2014). Medical-Surgical Nursing: Patient-Centered Collaborative Care. Mexico: Saunders.

Ignatavicius, D. D., Workman, M. L., & Winkelman, C. (2016). Medical-Surgical Nursing: Patient-Centered Collaborative Care (8th Ed.). St. Louis, Missouri: Elsevier.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2018). Potret Sehat Indonesia dari Riskesdas 2018. Diakses pada 22 Desember 2018, dari http://www.depkes.go.id/article/view/18110200003/potret-sehat-indonesia-dari-riskesdas-2018.html.

Lewis, S. L., Dirksen, S. R., Heitkemper, M. M., & Bucher, L. (2014). Medical-Surgical Nursing: Assessment and Management of Clinical Problems. Canada: Elsevier.

Lewis, S. L., Hagler, D., Bucher, L., Heitkemper, M. M., Harding, M. M., Kwong, J., & Roberts, D. (2016). Clinical Companion to Medical-Surgical Nursing: Assessment and Management of Clinical Problems. USA: Elsevier. Diakses pada 22 Desember 2018, dari https://books.google.co.id/books?id=8Xb2DAAAQBAJ&printsec=frontcover&dq=chronic+kidney+disease+medical+surgical+nursing&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwi7yfXV6LLfAhWNb30KHXahCyIQ6AEIVDAH#v=onepage&q=chronic%20kidney%20disease&f=false.

Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis, & NANDA (North American Nursing Diagnosis Association) NIC-NOC (Jilid 2). Jogjakarta: MediAction.

Smeltzer, S. C., Bare, B. G., Hinkle, J. L., & Cheever, K. H. (2010). Brunner & Suddarth’s: Textbook of medical-surgical nursing. Philadelphia: Wolters Kluwer/Lippincott Williams & Wilkins.