PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK (PPOK)

Secara global Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) diperkirakan menyebabkan sekitar tiga juta kematian atau 5% dari semua kematian di seluruh dunia pada tahun 2015 dan lebih dari 90% kematian karena penyakit ini terjadi di negara-negara tingkat rendah dan menengah dan diperkirakan menjadi penyebab utama kematian ketiga di seluruh dunia pada tahun 2030 (World Health Organization [WHO], 2016). Berdasarkan data statistik di 12 negara di Asia, prevalensi PPOK dari ringan hingga berat mencapai 6,3% dan 5,6% dari data prevalensi tersebut diperkirakan terjadi di Indonesia (Viet et al., 2015). Prevalensi PPOK kemungkinan akan semakin meningkat karena prevalensi merokok dan penuaan yang semakin tinggi di banyak negara (WHO, 2016). Hal ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Naser, Medison, & Erly (2016) menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan dan korelasi yang kuat antara derajat merokok dengan derajat keparahan PPOK.

PPOK berkembang secara perlahan dan memburuk seiring berjalannya waktu, dimana saluran udara dan kantung udara di paru-paru kehilangan elastisitasnya dan peradangan dapat terjadi, sehingga menghasilkan banyak lendir yang dapat menyumbat dan mencegah aliran normal udara saat masuk dan keluar dari paru-paru (Imperato, Rao, Szarek, & Watson, 2011).

Oleh karena itu, peran perawat sangat penting di semua tahap pengelolaan penyakit ini, mulai dari pencegahan hingga pemberian perawatan end-of-life dalam berbagai pengaturan, baik di rumah sakit maupun di masyarakat (Fletcher & Dahl, 2013). Perawat dapat mengedukasi pasien mengenai teknik pernapasan dan teknik batuk, tip untuk mempertahankan energi, perencanaan terhadap eksaserbasi akut, latihan sederhana untuk dilakukan di rumah serta penggunaan terapi oksigen (Ferrera, 2011 dalam Salmon & Herzberger, 2012). Perawat dalam melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan PPOK perlu didasarkan pada ilmu pengetahuan keperawatan, berbasis bukti (evidence based), komprehensif, berpusat pada keluarga, berfokus pada kesehatan, dan pengalaman sehat serta berada dalam sistem. Selain itu, untuk memenuhi kebutuhan pasien dan keluarga perlu adanya keragaman, kreativitas dan nilai-nilai keperawatan saat mengembangkan klinik perawat (Jónsdóttir, 2008).

Apa itu PPOK?

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) dahulu disebut dengan Penyakit Paru Obstruktif Menahun. Penyakit ini ditandai dengan adanya perlambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel dan bersifat progresif serta berkaitan dengan respons inflamasi yang abnormal terhadap partikel atau gas iritan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia [Kemenkes RI], 2013). Saat ini PPOK merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan sekelompok penyakit yang menyebabkan penyumbatan aliran napas dan masalah terkait pernapasan meliputi bronkitis kronis, emfisema, atau kombinasi keduanya (American Thoracic Society [ATS], 2013; Centers for Disease Control and Prevention [CDCP], 2016).

PPOK  adalah  penyakit  kronis saluran  napas  yang  ditandai  dengan  hambatan  aliran  udara khususnya  udara  ekspirasi  yang  bersifat  progresif (semakin lama  semakin  memburuk), disebabkan  oleh  pajanan  faktor  risiko  seperti merokok,  polusi  udara  di  dalam  maupun  di  luar ruangan.  Onset  (awal terjadinya penyakit)  biasanya  pada  usia  pertengahan  dan  tidak  hilang dengan  pengobatan (Kemenkes RI, 2013b). PPOK dapat dicegah, namun tidak dapat disembuhkan, bahkan pengobatan yang diberikan hanya untuk meredakan gejala, meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi risiko kematian dan bila disertai dengan eksaserbasi PPOK dan penyakit lain akan berkontribusi terhadap keparahan penyakit ini (Lewis, Dirksen, Heitkemper, & Bucher, 2014; WHO, 2016).

PPOK 
Sumber: Make & Petrache (2016)

Klasifikasi PPOK

Global  Initiative  for  Chronic  Obstructive  Lung  Disease (GOLD, 2017), PPOK diklasifikasikan berdasarkan derajat berikut:

1) GOLD I (ringan)

FEV1 ≥80% diprediksi. Gejala  klinis  : Dengan  atau  tanpa  batuk. Dengan  atau  tanpa  produksi sputum.Sesak napas derajat sesak 0 sampai derajat sesak 1

2) GOLD II (sedang)

FEV1 50%-80% diprediksi. Gejala  klinis  : Dengan  atau  tanpa  batuk. Dengan  atau  tanpa  produksi sputum. Sesak napas derajat sesak 2 (sesak timbul pada saat aktivitas).

3) GOLD III (berat)

FEV1 30%-50% diprediksi. Gejala  klinis  : Sesak  napas  derajat sesak  3 dan  4. Eksaserbasi  lebih sering terjadi.

4) GOLD IV (sangat berat)

FEV1 <30% diprediksi. Gejala  klinis  :  Pasien  derajat  III  dengan  gagal  napas  kronik. Disertai  komplikasi kor pulmonale atau gagal jantung kanan.

Tabel: Skala Sesak

Skala Sesak Keluhan Sesak Sesuai dengan Aktivitas
0 Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat
1 Sesak mulai timbul bila berjalan cepat atau naik tangga 1 tingkat
2 Berjalan lebih lambat karena merasa sesak
3

Sesak timbul bila berjalan 100 m atau setelah beberapa menit

4 Sesak bila mandi atau berpakaian

Sumber: Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI, 2008)

Etiologi

PPOK dapat disebabkan oleh banyak faktor, namun yang paling umum ialah merokok/asap rokok. Faktor lingkungan dan genetik juga dapat menyebabkan PPOK (ATS, 2013). Lewis et al. (2014); WHO (2016) menyebutkan bahwa penyebab PPOK ialah, sebagai berikut:

  1. Merokok
  2. Usia (gejala dirasakan sejak usia 40 tahun).
  3. Bahan kimia dan debu di tempat kerja (uap, iritan, dan asap).
  4. Polusi udara di dalam ruangan (seperti bahan bakar biomassa yang digunakan untuk memasak dan memanaskan)
  5. Polusi udara luar.
  6. Infeksi
  7. Sering terjadi infeksi saluran pernapasan bagian bawah selama masa kanak-kanak.

Anatomi dan Fisiologi Paru

Anatomi Paru

Paru-paru ada dua yaitu paru-paru kanan dan kiri yang merupakan alat pernapasan utama. Paru-paru mengisi rongga dada dan terletak di sebelah kanan dan kiri dan di tengah dipisahkan oleh jantung beserta pembuluh darah besarnya dan struktur lainnya yang terletak di mediastinum. Paru-paru berbentuk kerucut dengan apeks (puncak) di atas dan muncul sedikit lebih tinggi daripada klavikula di dalam dasar leher. Pangkal paru-paru duduk di atas landai rongga toraks, di atas diafragma. Paru-paru mempunyai permukaan luar yang menyentuh iga-iga, permukaan dalam yang memuat tampuk paru-paru, sisi belakang yang menyentuh tulang belakang, dan disisi depan yang menutupi sebagian sisi depan jantung (Pearce, 2007).

Anatomi Paru 
Gambar 2: Anatomi Paru-paru (Sumber: Tortora & Derrickson, 2009)

Paru-paru dibagi menjadi beberapa belahan atau lobus oleh fisura. Paru-paru kanan mempunyai tiga lobus dan paru-paru kiri mempunyai dua lobus. Setiap lobus tersusun atas lobula. Sebuah pipa bronkial kecil masuk ke dalam setiap lobula dan semakin bercabang semakin menjadi tipis dan akhirnya berakhir menjadi kantong kecil-kecil, yang merupakan kantong-kantong udara paru-paru. Di dalam air, paru-paru mengapung karena udara yang ada di dalamnya.

Fisiologi Paru

Fungsi paru-paru yaitu pertukaran gas oksigen dan karbondioksida. Pada pernapasan melalui paru-paru atau pernapasan ekterna, oksigen dipungut melalui hidung dan mulut pada waktu bernapas; oksigen masuk melalui trakea dan pipa bronkial ke alveoli, dan dapat berhubungan erat dengan darah di dalam kapiler pulmonalis. Paru-paru memiliki satu lapis membran yaitu membran alveoli-kapiler, yang memisahkan oksigen dari darah. Oksigen menembus membran ini dan dipungut oleh hemoglobin sel darah merah dan dibawa ke jantung untuk disebarkan ke seluruh bagian tubuh.

Empat proses yang berhubungan dengan pernapasan pulmoner atau pernapasan eksterna yaitu:

  1. Ventilasi pulmoner, atau gerak pernapasan yang menukar udara dalam alveoli dengan udara luar.
  2. Arus darah melalui paru-paru
  3. Distribusi arus udara dan arus darah sedemikian sehingga dalam jumlah tepat dapat mencapai semua bagian tubuh.
  4. Difusi gas yang menembusi membran pemisah alveoli dan kapiler. Karbon dioksida lebih mudah berdifusi daripada oksigen.

Patofisiologi PPOK

Patofisiologi PPOK rumit dan beragam, sehingga menjadi tantangan dalam mengkaji, mendiagnosis dan mengelola perawatan primer. Oleh karena itu, perawat dalam melakukan pengkajian, diagnosis serta pengeloaan terhadap pasien dengan PPOK diharuskan untuk memiliki pemahaman yang baik tentang patofisiologi, mengenali dan memahami tanda dan gejala yang muncul pada pasien, terutama selama eksaserbasi akut atau episode penurunan (Mitchell, 2015). PPOK ditandai oleh peradangan kronis pada jalan napas, parenkima paru (bronkioles dan alveoli) dan pembuluh darah paru. Selain itu, bila diperhatikan bahwa patogenesis PPOK sangat rumit dan melibatkan banyak mekanisme. Ciri yang mendefinisikan PPOK ialah aliran udara yang terbatas dan tidak sepenuhnya reversibel saat ekshalasi. Hal ini disebabkan oleh hilangnya recoil yang elastis obstruksi aliran udara yang disebabkan oleh hipersekresi lendir, edema mukosa, dan bronkospasme (Lewis et al., 2014).

Terbatasnya aliran udara pada penderita PPOK bersifat progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi yang abnormal pada paru terhadap partikel atau gas berbahaya. Respon inflamasi terjadi di seluruh aliran udara baik proksimal maupun periferal, parenkim paru dan dan pembuluh darah paru Pada saluran udara proksimal (trakea dan bronki berdiameter lebih dari 2 mm), perubahan meliputi peningkatan jumlah sel goblet dan kelenjar submukosa yang membesar, yang keduanya menyebabkan hipersekresi lendir. Di saluran udara perifer (bronkiolus berdiameter kurang dari 2 mm), peradangan menyebabkan penebalan dinding saluran napas, fibrosis peribronkial, eksudat di jalan napas, dan keseluruhan penyempitan jalan napas (bronchiolitis obstruktif). Seiring waktu, proses perbaikan dan cedera yang sedang berlangsung ini menyebabkan pembentukan jaringan parut dan penyempitan lumen jalan nafas (GOLD, 2008 dalam Smeltzer et al., 2010). Perubahan inflamasi dan struktural juga terjadi pada parenkim paru (bronchioles pernafasan dan alveoli). Kerusakan dinding alveolar menyebabkan hilangnya lampiran alveolar dan penurunan rekah dalam elastis. Akhirnya, proses peradangan kronis mempengaruhi pembuluh darah paru dan menyebabkan penebalan lapisan pembuluh darah dan hipertrofi otot polos, yang dapat menyebabkan hipertensi pulmonal (GOLD 2008, dalam Smeltzer et al., 2010).

Smeltzer et al. (2010) mengatakan bahwa penyebab lain yang berhubungan dengan PPOK yaitu proses yang berkaitan dengan ketidakseimbangan zat (proteinase dan antiproteinase) di paru-paru dapat menyebabkan pembatasan aliran udara. Bila zat ini aktif oleh peradangan kronis, proteinase dan zat lainnya dapat dilepaskan dan dapat merusak parenkim paru. Perubahan parenkim ini juga dapat terjadi sebagai konsekuensi dari faktor inflamasi atau lingkungan atau genetik (misalnya defisiensi alpha1-antitrypsin).

Anatomi Paru Patofisiologi PPOK (Lewis et al., 2014; NANDA 2015-2017; Smeltzer et al., 2010)

Manifestasi Klinis

Gejala awal PPOK adalah sesak napas saat beraktivitas bahkan saat istirahat, batuk dan dahak juga ada (Make & Petrache, 2016). National Heart, Lung, and Blood Institute (NHLBI, 2017) menyebutkan beberapa tanda dan gejala PPOK yang muncul pada pasien:

  1. Sesak napas, terutama saat aktivitas fisik.
  2. Mengi
  3. Dada sesak
  4. Batuk kronis yang bisa menghasilkan lendir (sputum) yang mungkin jernih, putih, kuning atau kehijauan.
  5. Kuku jari (sianosis)
  6. Kekurangan energi
  7. Penurunan berat badan yang tidak diinginkan (pada tahap selanjutnya)
  8. Bengkak di pergelangan kaki, ujung kaki atau telapak kaki.

Pemeriksaan Diagnostik

Kemenkes RI (2013) menyebutkan pemeriksaan yang harus dilakukan untuk menunjang diagnosis PPOK ialah sebagai berikut:

  1. Spirometri adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mengukur secara obyektif kapasitas/fungsi paru (ventilasi) pada pasien dengan indikasi medis. Alat yang digunakan disebut spirometer
  2. Radiologi (Rontgen Thoraks)
  3. Bila eksaserbasi akut: analisis gas darah, DPL, Sputum gram, Kultur MOR.

National Health Service (NHS, 2017) juga menyebutkan beberapa tes diagnostik pada PPOK seperti berikut ini:

1) Spirometri

Spirometri dapat membantu untuk melihat seberapa baik paru-paru dapat bekerja. Spirometer mengukur dua hal yaitu volume udara yang biasa dihirup dalam satu detik dan jumlah udara yang keluar. Bacaan dibandingkan dengan hasil normal berdasarkan usia, yang memperlihatkan adanya aliran udara yang terhambat.

2) Chest X-ray

X-ray dada dapat digunakan untuk menemukan masalah di paru-paru yang dapat menyebabkan gejala yang serupa dengan PPOK. Masalah yang bisa muncul pada sinar X termasuk infeksi dada dan kanker paru-paru, meski hal ini tidak selalu muncul.

3) Tes Darah

Tes darah dapat dilakukan untuk memeriksa kondisi lain yang dapat menyebabkan gejala yang serupa dengan PPOK, seperti kadar zat besi rendah (anemia) dan konsentrasi sel darah merah yang tinggi dalam darah (polisitemia). Terkadang tes darah juga dapat dilakukan untuk memeriksa kekurangan alpha-1-antitrypsin yang merupakan masalah genetik langka yang meningkatkan risiko PPOK.

4) Test lebih lanjut:

  • Electrocardiogram (ECG): Untuk mengukur aktivitas listrik jantung.
  • Echocardiogram: pemeriksaan ultrasonografi jantung.
  • Peak flow test: tes pernapasan yang mengukur seberapa cepat bisa bernafas, yang dapat membantu mengurangi asma.
  • Blood oxygen test: alat untuk mengukur kadar oksigen dalam darah.
  • Computerised Tomography (CT) scan: pemindaian terperinci yang dapat membantu mengidentifikasi masalah di paru-paru.
  • Sampel dahak (Phlegm sample): diuji untuk memeriksa tanda-tanda infeksi dada.

Penatalaksanaan Medis

NHLBI (2017) menyebutkan bahwa PPOK belum bisa diobati, namun perubahan gaya hidup dan perawatan dapat membantu pasien merasa lebih baik, tetap lebih aktif, dan memperlambat progres penyakit. Berikut tujuan penatalaksanaan PPOK meliputi:

a) Mengurangi gejala.

b) Memperlambat kemajuan penyakit

c) Meningkatkan toleransi latihan atau kemampuan untuk tetap aktif.

d) Mencegah dan mengobati komplikasi.

e) Meningkatkan kesehatan secara keseluruhan.

 

GOLD (2017) membagi penatalaksanaan terhadap PPOK yaitu:

a) Penatalaksanaan PPOK stabil

    1) Penatalaksanaan non-farmakologis

    Penatalaksanaan non-farmakologis PPOK sesuai dengan penilaian gejala dan risiko          eksaserbasi individual ditunjukkan pada tabel berikut ini:

Tabel: Penatalaksanaan Non-farmakologis PPOK

Grup Pasien

Esensial Rekomendasi Bergantung pada Pedoman Lokal

A

Berhenti merokok (bisa termasuk pengobatan farmakologis)

Aktivitas fisik

Vaksinasi flu

Vaksinasi pneumococcal

B, C, D

Berhenti merokok (bisa termasuk pengobatan farmakologis)

Rehabilitasi paru

Aktifitas Fisik

Vaksinasi flu

Vaksinasi pneumococcal

Sumber: GOLD (2017)

      2) Penatalaksanaan farmakologis

  1. Bronkodilator
  2. Kortikosteroid dan Phosphodiesterase-4 Inhibitors.

b) Pentalaksanaan eksaserbasi

  1. Oksigen
  2. Bronkodilator
  3. Kortikosteroid sistemik
  4. Antibiotik
  5. Adjunct Therapies

Komplikasi

Lewis et al. (2014) menyebutkan komplikasi dari PPOK seperti berikut ini:

1) Cor pulmonale

Cor pulmonale dihasilkan dari hipertensi pulmonal, yang disebabkan oleh penyakit yang menyerang paru-paru atau pembuluh darah paru.

2) PPOK eksaserbasi

PPOK eksaserbasi merupakan kejadian akut dalam perjalanan alami penyakit PPOK. Penyebab utama eksaserbasi adalah infeksi bakteri atau virus. Eksaserbasi ditandai oleh perubahan akut pada dyspnea, batuk, dan/atau dahak pasien biasa (yaitu sesuatu yang berbeda dari pola sehari-hari yang biasa). Eksaserbasi PPOK khas dan meningkat dalam frekuensi (rata-rata satu atau dua tahun) seiring perkembangan penyakit. Mungkin perlu beberapa minggu bagi pasien untuk pulih dari eksaserbasi.

3) Acute Respiratory Failure

4) Gagal napas akut berisiko terjadi bila penderita PPOK berat mengalami eksaserbasi. Seringkali, pasien PPOK menunggu terlalu lama untuk menghubungi penyedia layanan kesehatan ketika pertama kali merasakan gejala yang menandakan eksaserbasi. Selain itu, menghentikan pengobatan bronkodilator atau kortikosteroid juga dapat memicu kegagalan pernafasan.

5) Kanker paru

6) Masalah jantung

7) Depresi dan cemas

Prognosis

Nagai (2010) menyebutkan beberapa prognosis dari PPOK yaitu sebagai berikut:

a) Perkembangan COPD menghasilkan prognosis kelangsungan hidup yang lebih buruk. Namun, perbaikan prognosis dapat diharapkan dengan manajemen yang memadai.

b) Faktor prognostik meliputi usia, jenis kelamin, merokok, tingkat dyspnea, FEV1, hipersensitivitas saluran napas, hiperinflasi paru, hipoksemia, hipertensi pulmonal, toleransi latihan, eksaserbasi, komorbiditas sistemik, dan komplikasi paru.

c) Penghentian merokok, vaksinasi influenza, dan LTOT / HOT dapat memperbaiki prognosis bertahan hidup pasien COPD. Selanjutnya, penggunaan gabungan dari agonis aksiotoksik dan kortikosteroid inhalasi lama serta inhalasi agen antikolinergik yang bekerja lama dapat memperbaiki prognosis kelangsungan hidup.

Tinjauan Teoritis Keperawatan

Diagnosa Keperawatan

Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever (2010) mengatakan bahwa diagnosa keperawatan yang dapat ditemukan pada pasien dengan PPOK ialah sebagai berikut:

  • Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perbedaan antara ventilasi dan perfusi
  • Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan bronkokonstriksi, peningkatan produksi lendir, batuk tidak efektif, infeksi bronkopulmonal, dan komplikasi lainnya.
  • Pola napas tidak efektif berhubungan dengan berhubungan dengan sesak napas, lendir, bronkokonstriksi, dan iritasi saluran napas.
  • Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelelahan sekunder akibat peningkatan kerja pernapasan dan ventilasi dan oksigenasi yang tidak cukup.
  • Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelelahan, hipoksemia, dan pola pernafasan yang tidak efektif.
  • Koping tidak efektif berhubungan dengan berkurangnya sosialisasi, kecemasan, depresi, tingkat aktivitas yang rendah, dan ketidakmampuan untuk bekerja.

Rencana Asuhan Keparawatan

Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perbedaan antara ventilasi dan perfusi.

Intervensi:

a) Berikan bronkodilator sesuai resep:

  • Inhalasi merupakan rute utama.
  • Amati efek samping: takikardia, disritmia, eksitasi sistem saraf pusat, mual, dan muntah.
  • Kaji teknik pengukuran dosis inhaler yang benar/metered-dose inhaler (MDI) atau jenis administrasi lainnya.

Rasional:

Bronkodilator melebarkan jalan napas. Dosis obat secara hati-hati disesuaikan untuk setiap pasien, sesuai dengan respon klinis.

b) Evaluasi keefektifan pengobatan nebulizer atau MDI.

  • Kaji penurunan sesak napas, mengi atau krekels, sekresi mengendur, dan penurunan kecemasan.
  • Pastikan obat diberikan sebelum makan untuk menghindari mual dan mengurangi kelelahan yang menyertai makan.

Rasional:

Kombinasi obat dengan bronkodilator aerosol biasanya digunakan untuk mengontrol bronkokontriksi pada eksaserbasi akut.

c) Anjurkan dan ajarkan pasien tentang nafas diafragma dan batuk efektif.

Rasional:

Teknik ini memperbaiki ventilasi dengan membuka jalan napas untuk memudahkan pembersihan saluran pernapasan. Pertukaran gas membaik dan kelelahan terminimalisir.

d) Berikan oksigen dengan metode yang ditentukan.

  • Jelaskan alasan dan pentingnya oksigen pada pasien.
  • Evaluasi keefektifan; Amati tanda-tanda hipoksemia. Beri tahu dokter jika ada kegelisahan, kecemasan, mengantuk, sianosis, atau takikardia.
  • Analisis gas darah arteri dan bandingkan dengan nilai awal. Saat tusukan arteri dilakukan dan sampel darah diperoleh, tahan tusukan selama 5 menit untuk mencegah pendarahan arteri dan pengembangan ekimosis.
  • Lakukan oksimetri nadi untuk memantau saturasi oksigen.
  • Jelaskan pada pasien atau pengunjung untuk tidak merokok saat oksigen sedang digunakan.

Rasional:

Oksigen akan memperbaiki hipoksemia. Pengamatan yang cermat terhadap flow liter atau persentase yang diberikan dan pengaruhnya terhadap pasien penting dilakukan. Pasien-pasien ini umumnya membutuhkan rate oksigen dengan flow rendah mulai dari 1 hingga 2 liter/menit. Pantau dan titrasi untuk mencapai PaO2 yang diinginkan. Merokok dapat menyebabkan oksimetri nadi tidak akurat karena karbon monoksida dari asap rokok pada saturasi hemoglobin.

Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan bronkokonstriksi, peningkatan produksi lendir, batuk tidak efektif, infeksi bronkopulmonal, dan komplikasi lainnya.

Intervensi:

a) Hidrasi yang cukup pada pasien

Rasional:

Hidrasi sistemik menjaga kelembaban sekresi dan ekspektorasi mudah. Cairan harus diberikan dengan hati-hati jika gagal jantung kanan atau kiri ada.

b) Ajarkan dan dorong pasien untuk melakukan diaphragmatic breathing dan batuk efektif.

Rasional:

Teknik ini membantu memperbaiki ventilasi dan memobilisasi sekresi tanpa menyebabkan sesak napas dan kelelahan.

c) Kaji pemberian nebulizer atau MDI.

Rasional:

Ini memastikan pengiriman obat yang memadai ke saluran udara.

d) Jika diindikasikan, lakukan postural drainase dengan perkusi dan vibrasi di pagi hari dan malam hari.

Rasional:

Ini menggunakan gravitasi untuk membantu meningkatkan sekresi sehingga bisa lebih mudah dieksitasi atau disedot.

e) Anjurkan pasien untuk menghindari iritasi bronkial seperti asap rokok, aerosol, suhu ekstrem, dan uap.

Rasional:

Iritasi bronkial menyebabkan bronkokonstriksi dan peningkatan produksi lendir, yang kemudian mengganggu pembersihan jalan nafas.

f) Ajarkan tanda awal infeksi yang harus segera dilaporkan ke dokter:

  • Produksi sputum meningkat.
  • Perubahan warna dahak.
  • Meningkatnya ketebalan dahak.
  • Meningkatnya sesak napas, sesak di dada, atau kelelahan.
  • Batuk meningkat.
  • Demam atau menggigil.

Rasional:

Infeksi saluran pernapasan minor yang tidak berakibat pada orang dengan paru-paru normal dapat menyebabkan gangguan fatal di paru-paru penderita emphysema. Pengenalan awal sangat penting.

g) Berikan antibiotik sesuai resep

Rasional:

Antibiotik mungkin diresepkan untuk mencegah atau mengobati infeksi.

h) Dorong pasien untuk diimunisasi ulang, influenza dan Streptococcus pneumoniae.

Rasional:

Orang dengan kondisi pernafasan rentan terhadap infeksi pernafasan dan dianjurkan untuk diimunisasi.

Pola napas tidak efektif berhubungan dengan berhubungan dengan sesak napas, lendir, bronkokonstriksi, dan iritasi saluran napas.

Intervensi:

a) Ajarkan pasien diaphragmatic and pursed-lip breathing.

Rasional:

Membantu pasien bernapas panjang dan mengurangu penumpukkan udara. Dengan teknik ini, pasien akan bernafas lebih efisien dan efektif.

b) Dorong aktivitas alternatif saat waktu istirahat. Biarkan pasien membuat beberapa keputusan (mandi, bercukur) tentang perawatan berdasarkan tingkat toleransi.

Rasional:

Pasien melakukan aktivitas tanpa tekanan yang berlebihan.

c) Dorong penggunaan pelatih otot inspirasi.

Rasional:

Hal ini memperkuat dan kondisi otot pernapasan.

Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelelahan sekunder akibat peningkatan kerja pernapasan dan ventilasi dan oksigenasi yang tidak cukup.

Intervensi:

a) Ajarkan pasien untuk mengkoordinasikan pernafasan diafragma dengan aktivitas (misalnya, berjalan, membungkuk).

Rasional:

Hal ini akan memungkinkan pasien untuk lebih aktif dan untuk menghindari kelelahan atau dyspnea yang berlebihan selama aktivitas berlangsung.

b) Dorong pasien untuk mulai memandikan diri, berpakaian diri, berjalan kaki, dan minum cairan. Diskusikan tindakan konservasi energi.

Rasional:

Seiring kondisi pulih, pasien akan bisa melakukan lebih banyak tapi perlu didorong untuk menghindari ketergantungan yang meningkat.

c) Ajarkan drainase postural jika sesuai.

Rasional:

Hal ini mendorong pasien untuk terlibat dalam perawatan sendiri dan mempersiapkan pasien untuk mengelola di rumah.

Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelelahan, hipoksemia, dan pola pernafasan yang tidak efektif.

Intervensi:

a) Support pasien untuk berolahraga rutin menggunakan treadmill dan latihan sepeda, berjalan kaki atau latihan lain yang sesuai, seperti jalan ke mal.

  • Kaji tingkat fungsi pasien saat ini dan kembangkan rencana latihan berdasarkan status fungsional awal.
  • Sarankan pasien untuk konsultasi pada ahli terapi fisik atau program rehabilitasi paru untuk menentukan program latihan yang spesifik untuk kemampuan pasien. Miliki unit oksigen portabel yang tersedia jika oksigen diresepkan untuk olahraga.

Rasional:

Otot yang didekondisi mengkonsumsi lebih banyak oksigen dan memberi beban tambahan pada paru-paru. Melalui latihan teratur kelompok otot ini menjadi lebih terkondisi, dan pasien dapat melakukan lebih banyak tanpa sesak napas. Latihan bertingkat memutus siklus debilitasi.

Koping tidak efektif berhubungan dengan berkurangnya sosialisasi, kecemasan, depresi, tingkat aktivitas yang rendah, dan ketidakmampuan untuk bekerja.

Intervensi:

a) Bantu pasien mengembangkan tujuan yang realistis.

Rasional:

Mengembangkan tujuan yang realistis akan meningkatkan rasa harapan dan prestasi daripada kekalahan dan keputusasaan.

b) Dorong aktivitas ke tingkat toleransi gejala.

Rasional:

Aktivitas mengurangi ketegangan dan menurunkan tingkat dispnea saat pasien menjadi terkondisi.

c) Ajarkan teknik relaksasi atau sediakan tape relaksasi untuk pasien.

Rasional:

Relaksasi mengurangi stres, kecemasan, dan dyspnea dan membantu pasien mengatasi kecacatan.

d) Daftarkan pasien dalam program rehabilitasi paru jika tersedia.

Rasional:

Program rehabilitasi paru telah terbukti mempromosikan perbaikan subjektif pada status pasien dan harga diri serta meningkatkan toleransi olahraga dan penurunan rawat inap.

Evidence Based Practice

Evidence Based Practice (EBP) merupakan pendekatan pemecahan masalah untuk pengambilan keputusan klinis yang menyatukan antara evidence terbaik dan terbaru, keahlian dan penilaian klinis, dan nilai preferensi pasien dalam konteks asuhan/caring (Melnyk & Fineout-Overholt, 2011). EBP ditujukan untuk pengetahuan terkini kedalam keputusan perawatan umum untuk memperbaiki proses dan hasil akhir dari pasien. Selain itu, EBP meningkatkan asuhan yang diberikan pada pasien ke tingkat yang tinggi untuk menghasilkan hasil akhir kesehatan yang ingin dicapai (Stevens, 2013). Evidence-Based Nursing (EBN) merupakan salah satu pendekatan yang memungkan perawat untuk mengelola kebaruan dari literatur dan teknologi baru yang dapat menghasilkan hasil akhir yang baik pada pasien (Karkada, 2015). Adapun salah satu EBP yang akan dilakukan pada pasien yaitu Pursed Lip Breathing (PLB).

Penelitian yang dilakukan oleh Bakti (2015) tentang Pengaruh Pursed Lip Breathing Exercise terhadap Penurunan Tingkat Sesak Napas Pada Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Surakarta, menemukan bahwa ada pengaruh Pursed Lip Breathing (PLB) exercise terhadap penurunan tingkat sesak napas pada Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK). Hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Hafiizh (2013) yang mengatakan bahwa pemberian Pursed  Lip  Breathing  (PLB) memberikan  pengaruh pada penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Penelitian ini juga didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Borge et al. (2014) mendapatkan hasil bahwa PLB memiliki efek terhadap sesak napas.

PPOK dan penyakit paru lainnya dapat menyebabkan saluran udara kolaps saat bernapas (menghembuskan nafas) dan menahan udara dalam paru. Bila ini terjadi, pasien akan merasa sesak, maka PLB akan membuat saluran udara terbuka lebih lama saat menghembuskan nafas. Ini membantu melepaskan udara yang terperangkap pada paru-paru dan membiarkan oksigen masuk. Berlatih mengencangkan bibir saat beristirahat sehingga bisa menggunakan teknik ini saat merasa sesak napas (Ohio State University [OSU], 2007). Tahap-tahap dalam melakukan PLB (COPD Foundation, 2017; Qualidigm, 2014) ialah sebagai berikut:

  1. Otot leher dan bahu dibuat relaks terlebih dahulu.
  2. Bernapas atau hirup udara melalui hidung dengan kecepatan dan tingkat normal. Rasakan paru-paru terisi udara.
  3. Majukan bibir seolah-olah akan bersiul atau memainkan seruling.
  4. Keluarkan napas atau hembuskan napas perlahan dan lembut melalui mulut, jagalah agar bibir tetap mengerucut. Waktu yang diperlukan untuk menghembuskan nafas harus 2 sampai 3 kali lebih lama dari waktu menghirup. Jangan memaksakan udara keluar.

REFERENSI:

American Thoracic Society. (2013). Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD): Patient Information Series. Diakses pada 09 Agustus 2017, dari http://www.thoracic.org/patients/patient-resources/resources/copd-intro.pdf.

Bakti, A. K. (2015). Pengaruh Pursed Lip Breathing Exercise terhadap Penurunan Tingkat Sesak Napas Pada Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Surakarta. Diakses pada 11 Agustus 2017, dari http://eprints.ums.ac.id/40106/1/NASKAH%20PUBLIKASI.pdf.

Borge, C. R., Hagen, K. B., Mengshoel, A. M., Omenaas, E., … & Wahl, A. K. (2014). Effects of controlled breathing exercises and respiratory muscle training in people with chronic obstructive pulmonary disease: results from evaluating the quality of evidence in systematic reviews: BioMed Central Pulmonary Medicine, 14(184), 1-15. Diakses pada 18 Agustus 2017, dari https://bmcpulmmed.biomedcentral.com/track/pdf/10.1186/1471-2466-14-184?site=bmcpulmmed.biomedcentral.com.

Centers for Disease Control and Prevention. (2016). Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD). Diakses pada 09 Agustus 2017, dari https://www.cdc.gov/copd/index.html.

COPD Foundation. (2017). Breathing Techniques. Diakses pada 18 Agustus 2017, dari https://www.copdfoundation.org/What-is-COPD/Living-with-COPD/Breathing-Techniques.aspx.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2008). Pedoman Pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Diakses pada 13 Agustus 2017, dari http://perpustakaan.depkes.go.id:8180/bitstream//123456789/1357/1/BK2008-Sep12.pdf.

Fletcher, M. J., & Dahl, B. H. (2013). Expanding nursing practice in COPD: key to providing high-quality, effective, and safe patient care?: Primary Care Respiratory Journal 2013, 22(issue). Diakses pada 09 Agustus 2017, dari https://www.educationforhealth.org/wp-content/uploads/2015/03/pcrj-expanding-nursing-practice-in-COPD.pdf.

Hafiizh, M. E. (2013). Pengaruh Pursed-Lip Breathing terhadap penurunan Respiratory Rate (RR) dan Peningkatan Pulse Oxygen Saturation (SpO2) pada Penderita PPOK. Diakses pada 11 Agustus 2017, dari http://eprints.ums.ac.id/25567/19/2.NASKAH_PUBLIKASI.pdf.

Imperato, P. J., Rao, M., Szarek, M., & Watson, E. (2011). Brooklyn Community Health: Report on Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Diakses pada 13 Agustus 2017, dari http://www.downstate.edu/bhr/reports/Chronic-Obstructive-Pulmonary-Disease.pdf.

Jónsdóttir, H. (2008). Nursing care in the chronic phase of COPD: a call for innovative disciplinary research: Journal of Clinical Nursing, 17(7b), 272-290. Diakses pada 18 Agustus 2017, dari http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1365-2702.2007.02271.x/abstract

Karkada, S. (2015). Evidence Based Practice (EBP): International Journal of Nursing Research and Practice, 2(2), 1-2. Diakses pada 18 Agustus 2017, dari https://www.researchgate.net/publication/295235501_Evidence_Based_Practice.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2013). Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Diakses pada 11 Agustus 2017, dari http://www.pptm.depkes.go.id/cms/frontend/?p=infoptm&id=6.

Lewis, S. L., Dirksen, S. R., Heitkemper, M. M.,  & Bucher, L. (2014). Medical-Surgical: Assessment and management of clinical problems. St. Louis, Missouri: Elsevier/Mosby.

Make, B. J., & Petrache, I. (2016). COPD: Overview. Diakses pada 13 Agustus 2017, dari https://www.nationaljewish.org/conditions/copd-chronic-obstructive-pulmonary-disease/overview.

Melnyk, B. M. & Fineout-Overholt, E. (2011). Evidence-Based Practice in Nursing & Healthcare. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Mitchell, J. (2015). Pathophysiology of  COPD: Part 1. Diakses pada 09 Agustus 2017, dari http://www2.wlv.ac.uk/webteam/email-images/fehw/fehw_news/Archive%20of%20attachments/Pathophysiology%20of%20COPD%20Part%201%20Practice%20Nursing.pdf.

Nagai, A. (2010). Guidelines for the Diagnosis and Treatment of COPD (Chronic Obstructive Pulmonary Disease) (3rd Ed.). Diakses pada 14 Agustus 2017, dari http://www.jrs.or.jp/uploads/uploads/files/photos/765.pdf.

NANDA International, Inc. NURSING DIAGNOSES: Definitions & Classification 2015–2017 (10th Ed.). India: Wiley Balckwell.

Naser, Medison, & Erly (2016). Gambaran Derajat Merokok Pada Penderita PPOK di Bagian Paru RSUP Dr. M. Djamil: Jurnal Kesehatan Andalas, 5(2), 306-312. Diakses pada 12 Agustus 2017, dari http://jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/jka/article/viewFile/513/418.

National Heart, Lung, and Blood Institute. (2017a). Signs and Symptoms. Diakses pada 09 Agustus 2017, dari https://www.nhlbi.nih.gov/health/health-topics/topics/copd/signs.

Ohio State University. (2007). Pursed-Lip Breathing. Diakses pada 18 Agustus 2017, dari https://osuwmcdigital.osu.edu/sitetool/sites/lungcenterpublic/documents/purslip.pdf.

Pearce, E. C. (2007). Anatomi dan Fisiologis untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Qualidigm. (2014). Breathing Techniques. Diakses pada 18 Agustus 2017, dari http://www.qualidigm.org/wp-content/uploads/documents/breathing-techniques-lung-talk.pdf.

Salmon, N., & Herzberger, S. (2012). Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Diakses pada 09 Agustus 2017, dari https://lms.rn.com/getpdf.php/1735.pdf.

Smeltzer, S. C., Bare, B. G., Hinkle, J. L., & Cheever, K. H. (2010). Brunner & Suddarth’s: Textbook of medical-surgical nursing. Philadelphia: Wolters Kluwer/Lippincott Williams & Wilkins.

Stevens, K. R. (2013). The Impact of Evidence-Based Practice in Nursing and the Next Big Ideas: The Online Journal of Issues in Nursing, 18(2). Diakses pada 18 Agustus 2017, dari http://www.nursingworld.org/MainMenuCategories/ANAMarketplace/ANAPeriodicals/OJIN/TableofContents/Vol-18-2013/No2-May-2013/Impact-of-Evidence-Based-Practice.html

Tortora, G. J., & Derrickson, B. (2009). Principles of Anatomy and Physiology (12th Ed.). USA: Wiley.

Viet, N. N., Yunus, F., Phuong, A. N. T., Bich, V. D., Damayanti, D., … & Kwon, N. (2015). The prevalence and patient characteristics of chronic obstructive pulmonary disease in non-smokers in Vietnam and Indonesia: An observational survey: Asian Pasific Society of Respirology, 20(4), 602-611. Doi:10.1111/resp.12507.

World Health Organization. (2016). Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD). Diakses pada 09 Agustus 2017, dari http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs315/en/.

 

Updated: 31/08/2017

By: Responiel Halawa

Nursing Student

No comments:

Post a Comment